Selamat Datang di Blog Sekolah Adiwiyata SD Negeri Mangar 2 Kabupaten Pamekasan
NURANI  SEORANG GURU
Oleh : Moh. Sakur Efendi, S.Pd.,MMPd

            Apakah anda seorang guru ? Kalau tidak, sekurang-kurangnya, apakah anda pernah berfikir untuk mencicipi profesi sebagai guru ? Atau malah bercita-cita untuk serius menekuni profesi guru ? Bila ya, selamat ! Sebab Anda sedang meminati sebuah profesi yang penuh dengan tantangan. Bahkan, seluruh umat manusia di muka bumi ini pasti setuju bahwa guru adalah profesi yang mulia sepanjang zaman.
            Berapa besar gaji yang kita butuhkan agar kita bisa total menghadapi murid dikelas ? Berapa besar lagi tunjangan yang kita perlukan supaya bisa sepenuh hati sepenuh jiwa membersihkan ingus murid-murid kita di kelas satu, melayani semua anak didik kita yang bikin onar di kelas lima atau enam, dan tetap tersenyum meski murid-murid tak kunjung mengerti apa yang kita jelaskan didepan kelas ? Kita juga bisa mengajukan pertanyaan serupa, misalnya harus berapa kali lagi kita menaikkan gaji agar guru bisa fokus dan tidak antri di pangkalan ojek...? Juga, bukan besarnya tunjangan yang membuat seorang guru bisa senantiasa tersenyum menghadapi muridnya yang sering berulah. Tetapi, seberapa kuat panggilan jiwa mengantarkan ia sanggup berdiri didepan kelas, berada di tengah murid-muridnya yang beragam jenis dan asalnya. Memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan dengan segenap ketulusan hati serta kasih sayang tanpa harus membedakan kasta dan asal-usul.
            Seorang guru yang mengajar karena bisikan nurani dan panggilan jiwa serta memiliki misi untuk mengantarkan anak didiknya kepada jenjang kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, akan bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan,  kerokhanian dan budaya karakter bangsa yang sangat besar dalam dada setiap muridnya, bahkan sesudah ia mati akan selalu dikenang sepanjang masa.
            Realitas pertama, ada kekhawatiran menyeruak, ketika menyaksikan tawuran antar siswa bergolak dimana-mana, kekerasan geng motor yang tak lain adalah siswa yang duduk dibangku sekolah. Ada kegalauan muncul, kala memjumpai realitas bahwa guru lebih banyak memberi hukuman ( punishment ) dari pada memberi penghargaan ( reward ) kepada siswanya. Ada kegelisahan yang timbul, saat melihat para siswa berteriak girang begitu tahu gurunya tidak datang hari itu. Lihat juga para guru itu, saat melihat kalender matanya terbelalak mencari tanggal merah, atau saat kepala sekolah mengumumkan akan adanya libur panjang, semua murid serempak melonjak bersuka ria dan para guru serempak pula bilang Alhamdulillah ... Bukankah itu pertanda bahwa mereka sebenarnya tidak betah juga di sekolah ?
            Mengapa khawatir, galau, risau, gelisah, gundah ? Realitas pertama menunjukkan bahwa siswa kini sangat dekat dengan dunia kekerasan, yang jelas-jelas bertolak belakang dengan dunia mereka sendiri, yakni dunia pendidikan dan keilmuan. Bagaimana kalau kekerasan itu dilakukan oleh seorang guru yang notabene bisa digugu dan ditiru ?. Pendidikan adalah sebuah dunia yang terlahir dari rahim kasih sayang. Seorang ibu akan mengasuh dan mendidik anaknya disebabkan naluri kasih sayang yang dimilikinya. Jadi, kekerasan siswa ini menyisakan sebuah pertanyaan besar ! Mengapa dunia kasih sayang kini malah melahirkan kekerasan ? Mengapa dunia pendidikan makin akrab dengan kekerasan ?
            Realitas kedua menyiratkan mulai meredupnya nuansa kasih sayang dalam interaksi antara guru dengan siswa. Aroma konflik dan kerenggangan hubungan terasa mengental, saat guru lebih suka menghukum daripada tersenyum, saat guru lebih suka menghardik daripada mencoba bersikap empatik. Alhasil, bila realitas ini juga dicermati lebih jauh, akan muncul satu pertanyaan besar lagi : Adakah para guru kini sudah beralih fungsi dari merengkuh dan membimbing menjadi menghukum dan menghakimi belaka ?
            Realitas ketiga seperti hendak mengirimkan pesan, bahwa guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru. Apakah guru akan ditempatkan sebagai profesi an sich sebagaimana karyawan pabrik, pebisnis, satpam, dan buruh, yang memang bekerja dengan uang sebagai motivasi utamanya ? ataukah guru akan ditempatkan pada posisi mulia, sebagai ” pahlawan tanpa tanda jasa ”, dengan cara membangun kemuliaan pada diri mereka ?
            Ada sebuah kalimat  ” Siapa menanam, dialah yang akan memanen ”. ( man yazra’ wa huwa yahsud ). Artinya, jika kita menginginkan orang lain berbuat baik kepada kita, maka detik ini pula kita harus berbuat baik kepada orang lain . Siapa menanam padi, dia akan memanen padi pula. Bahkan rumputpun akan tumbuh disekitar padi itu. Namun, siapa menanam rumput, jangan harap ada padi yang bisa tumbuh.
            Pepatah di atas merupakan salah satu rumus interaksi sosial. Setiap orang yang berinteraksi dengan orang lain akan terkena taklif rumus tersebut. Guru, sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok sosial, sehari-harinya tidak lepas dari interaksi dengan pihak lain. Baik dengan sesama guru, dengan siswa, dengan orang tua siswa, atau dengan kalangan lain yang lebih luas. Guru yang dalam interaksi sosialnya banyak menanam kebaikan, pasti akan mendapat balasan kebaikan pula. Sebaliknya, guru yang selalu menanam keburukan seperti berlaku kasar, pemarah, kaku, mudah tersinggung dan sering membuat malu siswa, takkan mendapatkan hubungan yang harmonis dengan siswanya. Hasilnya guru yang seperti itu akan menjadi sosok yang kurang simpatik dimata siswa. Ia hanya akan tampil sebagai sosok yang ditakuti, bukan dihormati atau disegani. Maka nasehat dan pelajaran yang disampaikannya cenderung diabaikan oleh siswa.
            Guru yang baik adalah guru yang melandaskan interaksinya dengan siswa di atas nilai-nilai cinta. Kenapa harus cinta ? Ya, karena hanya hubungan berlandaskan cintalah yang akan melahirkan keharmonisan. Sikap cinta, kasih dan sayang tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, bukan mempermalukan dengan cara memotong rambut secara acak-acakan ? Apakah pernah berfikir rambut guru lebih sok tentara dari muridnya?  tidakkah cermin dikantor guru lebih lebar dari cermin bedak viva dirumah siswa ?
            Sosok guru harus senantiasa memperlihatkan sifat sayang kepada siswanya setiap saat, baik didalam maupun diluar sekolah. Kasih sayang guru yang selalu ditebar inilah yang akan ditangkap siswa sebagai kharisma. Jika seorang guru bersikap penuh kasih dimata siswa, ia akan menjelma menjadi sosok yang kharismatik. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa. Respon balik berupa rasa cinta siswa, lebih lanjut, biasanya diwujudkan melalui sikap-sikap yang positif. Misalnya kepatuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, penghormatan, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan siswa. Dengan begitu, siswa akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Maka, bakal muncul gairah untuk berprestasi di dalam jiwa siswa.  Guru yang mengajarpun akan merasakan bahwa mendidik siswa adalah sesuatu yang ringan dan menyenangkan.